AKU, FAIZI, DAN SAPUDI
Pagi di Pulau Sapudi selalu datang dengan suara ombak kecil dan lenguhan sapi. Dari jendela sekolah kecil tempatku mengajar, aku bisa melihat laut memantulkan cahaya seperti pecahan kaca. Di tengah pemandangan itu, setiap hari ada satu sosok kecil yang selalu kutunggu: Faizi.
Anak itu berjalan menyusuri pematang, membawa tas lusuh yang hampir tak layak pakai. Usianya baru empat belas tahun, tetapi wajahnya selalu tampak seperti memikul beban orang dewasa. Ia datang dari pedalaman Nonggunong, jauh sekali dari sekolah kami di Gayam. Karena itu ia tinggal menumpang di rumah orang.
Dan aku tahu betul: menumpang artinya bekerja.
Kadang ia datang dengan baju basah karena baru selesai menyiram kebun. Kadang dengan tangan yang masih kotor tanah. Bahkan pernah ia datang dengan napas terengah karena mengejar sapi yang lepas sebelum berangkat sekolah.
Pernah suatu hari, ia terlambat hampir dua jam.
Dengan suara lirih, ia berkata,
“Maaf, Pak… saya harus ambil kayu dulu.”
Setiap kata itu masuk ke hatiku seperti pisau kecil.
Kondisi anak-anak di sini memang membuatku sering menahan napas. Banyak yang datang tanpa sandal, tanpa sarapan, berjalan jauh melewati batu kapur yang tajam. Mereka belajar dengan perut kosong. Bahkan ada yang hanya makan ubi satu biji sehari.
Faizi salah satunya.
Suatu kali aku melihat kaki Faizi bengkak besar.
“Kenapa ini, Faiz?” tanyaku panik.
“Ketusuk kayu di jalan, Pak…”
Aku menyuruhnya tidak sekolah dulu dan berobat. Tapi ia menggeleng.
“Pak… kalau saya tidak sekolah, saya tidak dapat PR.”
Di saat itulah aku merasa kalah oleh keteguhan seorang anak kecil.
Aku tahu ia sering tidak mengerjakan PR, bukan karena malas, tapi karena malamnya ia masih di kebun, atau mencari kayu, atau memasak untuk keluarga tempat ia menumpang. Rumah itu pun tidak punya listrik, jadi ia belajar dengan sisa cahaya bulan.
Terkadang ia datang pagi-pagi sekali, duduk di bangku paling depan sambil terburu-buru menulis jawaban.
“Maaf, Pak… saya kerjakan sekarang ya. Tadi malam gelap.”
Aku hanya mengangguk. Bagaimana bisa aku marah?
Suatu siang, kelas sedang lengang. Aku memanggilnya mendekat.
“Faiz… kenapa kamu tetap sekolah? Padahal kamu capek, lapar, jauh dari orang tua…”
Ia menunduk, lalu berkata pelan,
“Saya ingin kampung saya berubah, Pak. Saya ingin orang tua saya makan lebih enak. Saya ingin membangun desa saya.”
Hatiku seperti runtuh sesaat.
Di depan meja kayu tua itu, yang berdiri bukan anak kecil.
Tapi harapan.
Aku menepuk bahunya.
“Terus sekolah, Nak. Suatu hari kamu akan jadi cahaya bagi Sapudi.”
Ia mengangguk, dan aku melihat tekad itu lebih kuat dari bukit kapur Sapudi sendiri.
Setiap pagi aku mengajar, tapi sebenarnya mereka-lah yang mengajariku arti keteguhan.
Setiap hari Faizi mengingatkanku bahwa pendidikan bukan sekadar membaca atau menulis.
Pendidikan adalah keberanian bermimpi, bahkan ketika hidup terasa terlalu berat.
Dan bila suatu hari Faizi benar-benar menjadi orang besar yang membangun kampungnya, aku tahu… semuanya berawal dari langkah kecilnya di pematang Sapudi, dari tas lusuhnya, dari kakinya yang sering terluka, dari PR yang ia minta setiap hari.
Dan aku, Rusliy, hanya ingin menjadi seorang guru yang menjaga mimpi kecil itu agar tidak padam.
Di pulau kecil ini,
di antara sapi-sapi yang digembalakan,
di bawah angin laut yang lembut,
aku belajar bahwa harapan tidak pernah memilih tempat.
Kadang ia lahir…
dari seorang anak kurus bernama Faizi.
_writing by Rumzil Azizah_





