MEMBACA, DARI MALAS MENJADI BUDAYA
Tahun 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) membuat kebijakan berupa anjuran membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Keluarnya kebijakan tersebut seolah menjadi angin segar untuk menumbuhkan minat baca siswa. Setidaknya hal tersebut membantu siswa untuk berkonsentrasi ketika pelajaran sudah dimulai. Keluarnya kebijakan tersebut juga menuai berbagai macam komentar positif dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat kelas bawah sampai pada tingkat pemerintahan. Fenomena ini sangat menarik sekali jika dipandang dari satu sisi karena adanya semangat luar biasa untuk menumbuhkan minat baca khususnya siswa. Akan tetapi, di sisi lain mengundang pertanyaan ada apa dengan minat baca di negara ini? Perlukah pemerintah mengeluarkan kebijakan seperti itu? Membaca perlu diatur. Bukankah memang sudah tugas guru dan siswa untuk membaca?
UNESCO pernah menyampaikan hasil
penelitiannya dan menyebutkan bahwa minat baca penduduk negara Indonesia berada
di urutan bawah atau 0,001%. Artinya, dalam seribu penduduk hanya ada satu orang
yang memiliki minat baca tinggi. Apa yang disampaikan oleh UNESCO berbanding
lurus dengan pernyataan sastrawan Taufiq Ismail ketika menyampaikan materi
seminar pada tahun 2014 di aula salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
Beliau menyampaikan bahwa di negara Indonesia terjadi tragedi nol buku. Beliau juga
membandingkan minat baca di Indonesia dengan negara asia lainnya dan
menyebutkan Indonesia masih rendah minat bacanya.
Permasalahan seperti inilah yang
ingin diselesaikan oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan 15 menit
membaca walaupun pencarian solusi sebenarnya bukan tanggung jawab pemerintah
semata. Akan tetapi, menjadi tanggung jawab bersama, mulai dari diri sendiri,
keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Di sekolah dalam upaya
meningkatkan minat baca siswa adalah mengubah kebiasaan malas menjadi kebiasaan
membaca. Dari kebiasaan membaca tersebutlah nantinya menjadi budaya membaca di
sekolah.
Mengubah sifat malas membaca menjadi
budaya membaca memang bukanlah hal yang mudah. Banyak kendala yang harus
dihadapi, mulai dari permasalahan individu, lingkungan sekolah, strategi dan
hal-hal lainnya. Namun, berbagai kendala tersebut bukanlah masalah besar jika
masih ada inisiatif dan semangat besar untuk membudayakan membaca di sekolah.
Ada beberapa langkah awal untuk mengubah rasa malas membaca menjadi budaya baca
di sekolah. Berikut akan dijelaskan satu persatu.
1. Mengubah
mindset (pola pikir)
Hal
pertama yang harus dilakukan adalah mengubah mindset (pola pikir) seluruh
komponen pendidikan di sekolah. Perubahan pola pikir yang dilakukan oleh
penggiat pendidikan akan memengaruhi pola pikir siswa. Dari perubahan pola
pikir inilah yang akan menjadi kebiasaan dan lambat laun menjadi budaya di
sekolah. Seorang guru yang menanyakan siswanya sudah membaca buku apa? haruslah
berani pula bertanya pada dirinya sendiri “saya sudah membaca buku apa?”. Pola
pikir seperti ini nanti harus ditularkan kepada siswa sehingga siswa terbiasa
untuk membaca.
2. Mulai
mencintai buku
Bagaimana
mengubah perasaan malas membaca menjadi kebiasaan membaca? Selanjutnya,
bagaimana mengubah kebiasaan menjadi budaya? Itulah sederet pertanyaan yang
muncul ketika akan mengubah kebiasaan lama ke kebiasaan baru, apalagi ke arah yang
lebih baik. Lalu dari semua itu apa yang dibutuhkan?
Lennon
dan McCartney menyebutkan bahwa yang kamu butuhkan adalah cinta. Mecintai buku
memang tidak sama dengan mencintai seseorang. Mencintai buku dapat dimulai
dengan membaca buku-buku yang menarik dan ringan, semisal cerpen, novel, atau
komik. Bacaan menarik seperti itu akan menjadi stimulus yang bagus dan langkah
awal yang tepat untuk memulai membiasakan diri untuk membaca.
Mari
renungkan bersama kata-kata W. Somerset Maugham ini “Tragedi terbesar kehidupan
ini bukanlah bahwa semua manusia akan binasa, melainkan bahwa mereka berhenti
mencintai”. Setelah direnungkan mari bersama-sama menumbuhkan perasaan seperti
ini di sekolah dengan cara memotivasi diri sendiri, terlebih lagi siswa agar
dapat menumbuhkan minat bacanya.
3. Action
(Tindakan/Perilaku)
Wujud
dari perasaan mencintai adalah tindakan. Begitu pula dengan wujud perasaan
mencintai buku adalah membacanya. Di sekolah, penggiat pendidikan haruslah
memberi contoh yang tepat dalam proses meningkatkan minat baca siswa. Para
penggiat pendidikan harus membiasakan diri membaca dimana pun saja, di
perpustakaan, kelas, kantor, atau di berbagai tempat di lingkungan sekolah.
Setidaknya, tindakan seperti itu menjadikan siswa tertarik untuk memulai
membaca. Sangat tidak elok sekali semisal penggiat pendidikan hanya menyuruh
siswa untuk membaca tetapi tidak pernah melakukannya sendiri. Hal itu dapat
menjadi bumerang bagi diri sendiri semisal siswa balik bertanya kanapa guru
tidak membaca juga. Selain dengan kegiatan membaca, para penggiat pendidikan
dapat juga melakukan diskusi bersama dengan siswa mengenai suatu buku atau juga
mengadakan bedah buku kecil-kecilan di taman sekolah atau di perpustakaan.
Sebelum diakhiri mari kita renungkan
bersama wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad
Saw. tentang membaca yang tertuang dalam surat Al-Alaq yang artinya “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
menciptakan”. Perintah membaca ini begitu penting sehingga diwahyukan pertama
kali oleh Allah Swt. Selain wahyu tersebut mari juga renungkan pendapat dari
beberapa tokoh berikut.
“Ada kejahatan yang lebih buruk daripada
membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya.” (Ray Bradbury)
“Seseorang diketahui dari buku-buku yang
dibacanya” (Ralph Waldo Emerson)
“Begitu kamu membaca buku yang kamu sayangi,
beberapa bagiannya selalu bersamamu.” (Jeremy Collier)
Sumber:
Tags : Tulisan
Lutfi
MEDIA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM
Ditunggu ide-idenya pada kolom komentar sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas pendidikan
- Lutfi
- Jl. Pesantren No. 11 Tarate Pandian Sumenep
- smaplusmu@gmail.com
- 085233233188
Posting Komentar