Ketakziman di Era Digital: Santri, Kiai, dan Pertarungan Makna di Tengah Arus Modernisasi
![]() |
| Gambar ilustrasi (bincangsyariah.com) |
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi ruang pembentukan karakter, akhlak, dan peradaban. Di balik temboknya yang sederhana, tumbuh nilai luhur: ketakziman santri kepada kiai. Namun di era digital, tradisi ini dihadapkan pada sorotan, kritik, bahkan pergeseran makna.
Dalam tradisi pesantren, kiai bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing spiritual dan moral. Santri tidak hanya belajar dari kata-kata, tetapi dari keteladanan. Dalam setiap gerak-gerik kiai, tersimpan pelajaran tentang keikhlasan, kesederhanaan, dan kesabaran.
Ketakziman adalah napas santri. Rasa hormat itu diekspresikan dalam banyak bentuk: menundukkan kepala saat berjalan di hadapan kiai, mencium tangan, tidak berbicara keras, hingga meminta izin dalam hal kecil. Bagi santri, adab lebih tinggi daripada ilmu.
Namun di era media sosial, nilai itu menghadapi ujian. Beberapa waktu lalu, viral video sekelompok santri yang merangkak mendekati kiai sambil mencium kaki beliau. Sebagian publik menilai adegan itu sebagai bentuk tawadhu‘ luar biasa. Sebagian lain menyebutnya “berlebihan” dan “tidak kontekstual”.
Tak hanya itu, publik kini juga lebih kritis terhadap gaya hidup sebagian kiai yang dinilai tidak lagi mencerminkan kesederhanaan. Mobil mewah, pakaian eksklusif, dan rumah megah menjadi bahan perbincangan hangat di media.
Sementara itu, bagi sebagian santri muda, media sosial juga menjadi ruang ekspresi baru. Mereka mengunggah konten tentang kehidupan pesantren: mulai dari kegiatan mengaji, kisah harian di asrama, hingga momen berinteraksi dengan kiai. Namun tanpa disadari, adab digital menjadi tantangan tersendiri.
Santri generasi baru tumbuh di tengah informasi cepat dan budaya kritis. Mereka menghormati kiai, namun juga memiliki kesadaran akan batas otoritas.
Pendekatan ini menunjukkan pergeseran makna adab: dari kepatuhan absolut menuju hubungan saling menghargai dan dialogis. Banyak pesantren kini mulai membuka ruang musyawarah antara santri dan pengasuh agar nilai-nilai tradisi tetap hidup tanpa kehilangan konteks zaman.
Fenomena viralitas ketakziman juga menyentuh persoalan lebih dalam: krisis keteladanan. Ketika kiai tidak lagi tampil sederhana, ketika pesantren terlibat politik praktis, atau ketika kekerasan terjadi di balik dalih “pendidikan keras”, maka makna ketakziman tercederai.
Data dari Komnas Perlindungan Anak (2024) menunjukkan bahwa laporan dugaan kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan berbasis agama meningkat 17% dalam dua tahun terakhir. Walaupun sebagian besar pesantren tetap menjaga tradisi luhur, kasus-kasus seperti ini mengikis kepercayaan publik terhadap figur keagamaan.
Kesantrian sejatinya bukan tentang bentuk luar, tetapi isi hati: tawadhu‘, kejujuran, dan kesadaran spiritual. Ketakziman tidak harus kehilangan makna di tengah dunia modern; tapi justru perlu dihidupkan kembali dalam bahasa yang dipahami generasi kini.
Di tengah hiruk-pikuk digital, pesantren tetap menjadi oase adab dan ilmu. Namun keseimbangan antara tradisi dan realitas harus terus dijaga. Karena ketakziman sejati bukan soal tunduk tanpa pikir, melainkan taat dengan kesadaran.
Ketakziman santri kepada kiai adalah warisan yang melampaui generasi. Ini merupakan jembatan antara ilmu dan akhlak, antara tradisi dan modernitas.
Namun seperti air yang mengalir, nilai luhur ini perlu wadah baru agar tetap segar: dalam media, dalam pendidikan, dan dalam perilaku.
Jika santri belajar menghormati dengan cerdas, dan kiai memimpin dengan teladan, maka pesantren akan terus menjadi cahaya bukan hanya bagi masa lalu, tapi juga bagi masa depan bangsa.
Oleh: Aisyah Fiyanti, S.Pd.
Tags :
Lutfi
MEDIA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM
Ditunggu ide-idenya pada kolom komentar sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas pendidikan
- Lutfi
- Jl. Pesantren No. 11 Tarate Pandian Sumenep
- smaplusmu@gmail.com
- 085233233188

Posting Komentar