Maulidur Rasul sebagai Lentera Hati: Dari Maaf Lahirlah Berkah dan Rezeki
Why?
Setiap manusia menginginkan hidup yang lapang, rezeki yang lancar, dan urusan yang dimudahkan. Namun sering kali kita lupa bahwa keberkahan hidup tidak hanya ditentukan oleh kerja keras, tetapi juga oleh kebeningan hati. Di tengah kehidupan bangsa yang penuh perbedaan, gesekan sosial, dan tantangan zaman, sikap memaafkan menjadi kunci yang sering terabaikan. Tanpa sifat ini, hati terbelenggu dendam, energi habis untuk konflik, dan keberkahan pun menjauh. Karena itu, Maulidur Rasul adalah momentum tepat untuk kembali menyalakan lentera hati melalui teladan beliau dalam memaafkan.
What?
Allah berfirman:
وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
(QS. النور: 22)
“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Rasulullah ﷺ mencontohkan hal ini saat Fathul Makkah, ketika beliau memberi maaf kepada kaum Quraisy yang dahulu memusuhi beliau, seraya berkata:
«ٱذْهَبُوا فَأَنْتُمُ ٱلطُّلَقَاء»
“Pergilah kalian, kalian semua bebas.”
Beliau juga bersabda:
«وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا»
(HR. مسلم)
“Allah tidak menambah bagi seorang hamba yang suka memaafkan kecuali kemuliaan.”
Bahkan Rasulullah ﷺ menegaskan tentang dirinya:
«إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ»
(HR. الحاكم، البيهقي)
“Sesungguhnya aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan.”
Inilah makna dari firman Allah:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَـٰلَمِينَ
(QS. الأنبياء: 107)
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Imam Ibn Kathir menjelaskan bahwa siapa saja yang menerima risalah Nabi, ia akan mendapatkan rahmat di dunia dan akhirat. Sebaliknya, siapa yang menolak, ia telah menutup dirinya dari rahmat itu.
Rahmat ini tercermin pula dalam riwayat sahabat Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali ra. yang berkata:
«مَا حَجَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، وَلاَ رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي»
(رواه البخاري)
“Sejak aku masuk Islam, Rasulullah ﷺ tidak pernah menghalangi aku (untuk menemuinya), dan beliau tidak pernah melihatku kecuali selalu tersenyum kepadaku.”
How?
Sifat memaafkan dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan langkah sederhana: tidak membalas keburukan dengan keburukan, memilih meredam konflik daripada memperbesar masalah, serta membiasakan senyum sebagai wujud keramahan, sebagaimana Rasulullah ﷺ selalu tersenyum kepada sahabatnya. Dalam konteks berbangsa, sikap pemaaf dan lapang dada akan membuat perbedaan politik tidak berubah menjadi permusuhan, kritik tidak berubah menjadi kebencian, dan keragaman tetap menjadi kekuatan. Dengan begitu, keberkahan rezeki dan ketenangan hidup akan lebih mudah diraih, baik oleh individu maupun oleh bangsa secara kolektif.
What Next?
Maulidur Rasul adalah kesempatan untuk memperbaharui hati. Mari kita jadikan sifat sabar, pemaaf, dan lapang dada sebagai budaya hidup. Mulailah dari hal kecil: memaafkan keluarga, tetangga, dan sahabat, lalu meluas menjadi etika sosial dan sikap kebangsaan. Jika teladan Nabi benar-benar hidup dalam diri kita, insyaAllah keberkahan rezeki akan mengalir, hati menjadi tenang, dan Indonesia tetap berdiri kokoh di bawah rahmat Allah.
Sesungguhnya, di balik Maulid Nabi terdapat pesan abadi yakni beliau adalah rahmat yang dihadiahkan dan siapa yang menyalakan cahaya itu dalam dirinya, akan hidup dalam keberkahan dunia dan akhirat.
_writing by Rumzil Azizah_
Tags :
Lutfi
MEDIA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM
Ditunggu ide-idenya pada kolom komentar sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas pendidikan
- Lutfi
- Jl. Pesantren No. 11 Tarate Pandian Sumenep
- smaplusmu@gmail.com
- 085233233188
Posting Komentar