Senin, 15 Desember 2025

Di Antara Bau Ban Leng dan Tangan Ebok

 


Malam selalu mengingatkanku pada Ebok. Ibunya mama. Perempuan yang menjadi rumah paling aman dalam masa kecilku.

Aku cucu perempuannya. Dan kata orang-orang, aku cucu kesayangannya. Aku percaya itu, karena hampir setiap malam aku tidur memeluknya.

Tubuh Ebok gendut dan hangat.

Aku selalu berbaring di belakangnya, memeluk dari punggung. Rasanya lebih tenang daripada tidur dengan mama.

Tanganku mencari tangannya.

Keriput, tipis, dan hangat.

Aku mengusapnya pelan, lama.

“Ebok belum tidur?” tanyaku lirih.

“Belum,” jawabnya lembut.

“Kamu kok masih melek?”

“Pegang tangan Ebok dulu,” kataku.

“Biar aku cepet tidur.”

Ebok tersenyum kecil.

“Kamu ini cucu perempuan kesayangan Ebok.”

Di ujung kasur, seperti biasa, ada botol kecil itu. Minyak urut Ban Leng. Bukan untukku. Untuk Ebok sendiri.

Ia meraihnya, lalu mulai melumuri tangannya, kakinya, bahkan betisnya dengan minyak itu. Pelan. Teratur. Seperti ritual sebelum tidur.

“Ebok pakai lagi?” tanyaku sambil menutup hidung.

“Baunya nyengat, gak enak, hmmphh!.”

Ebok tertawa pelan.

“Iya. Biar nggak linu. Badan tua begini kalau nggak diurapi, besok sakit semua.”

Aku memperhatikan gerak tangannya. Kulitnya keriput. Tapi gerakannya penuh kesabaran.

“Dulu juga pakai begitu?” tanyaku.

“Iya,” jawabnya.

“Dari zaman susah dulu. Obatnya ya ini. Nggak ada yang lain.”

Aku kembali mengusap tangannya, lebih lama.

“Zaman Ebok kecil susah ya?”

Ia terdiam sebentar.

“Iya. Sekolah susah. Umur dua belas sudah kerja dan menikah. Kalau sirine bunyi, semua orang lari ngumpet di tabun atau bebatuan.”

“Takut?” tanyaku pelan.

“Takut,” katanya jujur.

“Tapi hidup harus jalan. Mama kamu juga Ebok besarkan di zaman keras.”

Aku memeluknya lebih erat dari belakang. Wajahku kutempelkan di punggungnya.

“Ebok capek nggak?” bisikku.

Ia menepuk lenganku pelan.

“Capeknya sudah lewat. Sekarang capeknya enak. Ada kamu.”

Tanganku kembali menggenggam tangannya yang keriput. Hangat. Menenangkan.

“Ayo tedhung,” katanya lembut.

“Pegang aja tangan Ebok.”

Sekarang, Ebok sudah tiada. Dan mama juga sudah mendahuluinya.

Pusara mereka bersebelahan.

Ibu dan anak. Dua perempuan kuat dalam hidupku.

Kadang aku berdiri lama di sana. Sebagai cucu perempuan yang dulu tidur memeluk neneknya.

Dan setiap kali ingat bau minyak Ban Leng itu, hatiku terasa penuh.

Karena di sanalah tersimpan kasih sayang Ebok yang diam-diam, pelan-pelan, menghangatkanku sampai tertidur. 


_writing by Rumzil Azizah_

Tags :

bm

Lutfi

MEDIA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM

Ditunggu ide-idenya pada kolom komentar sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas pendidikan

  • Lutfi
  • Jl. Pesantren No. 11 Tarate Pandian Sumenep
  • smaplusmu@gmail.com
  • 085233233188

Posting Komentar