Teman Tak Terduga
Aku mengintip dari balik tirai jendela. Di luar, anak-anak kecil ramai menyoraki Ayung, seorang pemuda lusuh dengan tubuh tinggi kurus. Bicaranya tak pernah jelas; bibir sumbingnya membuat ucapannya terdengar patah-patah. Katanya ia agak terbelakang mental. Ia sering berkeliaran, kadang meminta-minta dari rumah ke rumah.
Sesekali ibuk memberinya uang receh. Kadang kue. Seadanya yang kami punya. Namun jujur saja, aku takut padanya. Entah kenapa. Mungkin karena ia sering diledek oleh kami, para bocil yang merasa paling berani. Ayung kerap mengejar, kami pun lari tunggang-langgang sambil tertawa tanpa tahu bahwa tawa itu melukai hatinya.
Konon, nama aslinya Saiful.
Tapi kami lupa.
Karena ia senang melihat orang bersarung dan sering menggumamkan kata yang sama, “ayung… ayung…” (sarung… sarung…)
Maka sejak itu, kami memanggilnya Ayung.
Sore hari sepulang madrasah, aku bermain ke sawah bersama teman-teman. Jika beruntung, kami menemukan tebu. Kami cabut, kami bawa pulang, lalu ibuk akan memotongnya kecil-kecil agar mudah digigit dan diisap sari manisnya.
Tanpa sadar, kami bermain terlalu jauh.
Saat matahari tenggelam dan langit berubah jingga gelap, barulah kami tersadar: waktu Maghrib hampir tiba. Panik. Kami berlarian pulang.
Aku tertinggal di belakang, napasku tersengal.
Tiba-tiba, krek!
Sandal jepitku putus. Aku jatuh tersungkur. Lututku perih terantuk batu. Teman-temanku sudah tak terlihat. Aku menangis kesakitan, takut, dan sendirian.
Lalu…
ada bayangan jongkok di dekatku.
Aku terkesiap.
Itu Ayung.
Ia tersenyum.
Tak berkata apa-apa. Ia melepas sandalnya, lalu menyodorkannya padaku.
Tangisku makin pecah.
Dengan sandal itu di kakiku, Ayung menuntunku pelan-pelan. Diam. Sabar. Sampai akhirnya lampu pekarangan rumahku tampak dari kejauhan. Aku tersenyum hangat, lega, dan malu pada diriku sendiri.
Aku menatapnya.
“Kalangkong, Ayung…”
Ia hanya mengangguk kecil.
Sejak hari itu, setiap kali Ayung lewat depan rumah, aku selalu menyapanya. Kadang kuberi kue. Kadang permen.
Sederhana.
Dan sejak itulah aku belajar:
Kadang orang yang sering kita anggap remeh justru memiliki hati yang paling baik. Jangan menilai seseorang dari rupanya,
karena Allah menitipkan kemuliaan di hati, bukan di penampilan. 🌼
_writing by Rumzil Azizah_
Tags :
Lutfi
MEDIA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM
Ditunggu ide-idenya pada kolom komentar sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas pendidikan
- Lutfi
- Jl. Pesantren No. 11 Tarate Pandian Sumenep
- smaplusmu@gmail.com
- 085233233188

Posting Komentar