Lima Ribu dari Langit
Pagi itu, Ahmad terbangun agak kesiangan. Tangannya cepat-cepat meraih kopiah, disusulkannya langkah menuju masjid. Azan Subuh hampir selesai.
Tasss!
Sandal Swallow-nya terlepas. Jempol kakinya membentur paving lapangan. Kukunya retak, darah keluar. Ahmad meringis, tapi tak berhenti. Dengan langkah tertatih ia tetap menuju masjid.
“Yang telat shalatnya di gazebo!”
Suara mu’allim terdengar tegas.
Ahmad tersentak. Ia menunduk, berjalan ke barisan santri yang telat. Setelah shalat dan membaca Yasin bersama, mereka mendapat ta’ziran membersihkan tempat wudu.
“Kenapa telat, Mad? Biasanya kamu paling rajin,” tanya temannya.
Sambil menyikat lumut di saluran air, Ahmad menjawab pelan,
“Semalam hujan deras. Aku nggak bisa tidur. Takut banjir masuk kamar. Kamarku kan bunker, kalau hujan air suka rembes.”
Temannya mengangguk paham.
Setelah ta’ziran selesai, Ahmad dan teman-temannya melapor kepada mu’allim. Ahmad lalu melangkah ke pasarean para kiai di dekat masjid. Ia berwudu kembali, lalu mengambil mushaf lusuh yang tersusun rapi di rak pojok.
Setiap hari, selain wirid wajib santri, Ahmad punya kebiasaan khusus: ngaji Surah At-Taubah. Entah mengapa hatinya selalu tertarik pada surah itu. Ia tahu, surah At-Taubah tidak diawali basmalah. Namun dua ayat terakhirnya selalu membuat dadanya lapang, seolah menjadi pegangan hidupnya.
“Kriukkk…”
Perut Ahmad berbunyi. Jam sudah menunjukkan pukul delapan.
Ia menyelesaikan bacaannya, menutup mushaf, menciumnya, lalu mengangkatnya ke atas kepala.
“Shadaqallâhul ‘azhîm…” ucapnya lirih.
Sandal yang tadi terlepas ia perbaiki dengan peniti kapal agar tidak putus lagi. Ahmad merogoh saku.
Seribu, dua ribu, tiga ribu, dan beberapa receh.
Tersisa tiga ribu lima ratus rupiah.
“Cukup,” gumamnya. Seribu lima ratus buat nasi terong dan telor ceplok di warung depan, dua ribu buat ongkos bis mini ke Situbondo kota. Hari ini ia berniat mengambil kiriman uang dari abahnya di Madura.
Setelah izin ke bagian keamanan pondok, Ahmad berjalan kaki cukup jauh menuju jalan Pantura. Setengah jam menunggu, bis mini datang. Ahmad melambai, naik, dan turun tepat di depan BRI Situbondo kota.
Di dalam bank, suasananya dingin, wangi, dan rapi. Ahmad mengisi slip, duduk menunggu. Nomor antreannya tujuh. Tak lama, ia dipanggil ke teller nomor satu. Seorang ibu paruh baya dengan name tag bertuliskan Sulastri.
“Ambil kiriman, Dek?” tanyanya lembut.
“Iya, Bu,” jawab Ahmad sambil menyerahkan buku tabungan dan slip.
Beberapa menit kemudian, kening ibu itu berkerut.
“Belum ada uang masuk, Dek.”
“Apa…?”
Hati Ahmad seakan runtuh. Ibu teller memastikan lagi. Tetap sama. Tidak ada kiriman.
Ahmad terdiam. Dadanya panas. Air matanya menggenang. Sejak pagi cobaan datang beruntun: telat Subuh, sandal putus, ta’zir, dan kini kiriman abah belum sampai. Uangnya habis. Tidak tersisa ongkos pulang.
Tangis Ahmad pecah di depan teller.
“Jangan menangis, Dek,” ujar Bu Sulastri.
“Kamu punya uang buat balik ke pondok?”
Ahmad menggeleng, sambil mengusap mata dengan ujung lengan bajunya.
Ibu itu terdiam sejenak. Lalu ia membuka dompet, mengambil beberapa lembar uang, dan menyodorkannya.
“Ini, Dek. Buat ongkos. Sabar ya.”
Ahmad menerimanya dengan tangan gemetar.
Lima ribu rupiah.
“Masya Allah…”
Air matanya jatuh, kali ini karena syukur.
Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih, menunduk penuh adab. Bagi orang lain mungkin kecil, tapi bagi Ahmad, uang itu adalah bukti nyata pertolongan Allah.
Di luar bank, Ahmad menengadah pelan.
“Terima kasih, ya Allah. Engkau datang menolong hamba-Mu lewat tangan siapa saja yang Engkau kehendaki.”
Dan pagi itu, Ahmad belajar:
santri boleh tidak punya apa-apa, asal hatinya tetap penuh tawakkal pada Allah SWT.
Terima kasih ya Allah
Terima kasih Bu Sulastri. ✨
_writing by Rumzil Azizah_
Tags :
Lutfi
MEDIA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM
Ditunggu ide-idenya pada kolom komentar sebagai ikhtiar bersama meningkatkan kualitas pendidikan
- Lutfi
- Jl. Pesantren No. 11 Tarate Pandian Sumenep
- smaplusmu@gmail.com
- 085233233188

Posting Komentar