MOKKA' SANDAL
|  | 
| Ilustrasi perjalanan tanpa alasan kaki | 
Pagi itu, udara di pondok masih dingin. Suara ayam berkokok bersahutan, santri mulai menyapu halaman dan menimba air. Di antara mereka ada seorang santri baru bernama Bisma. Ia datang dari Batang-batang, membawa semangat besar untuk menuntut ilmu.
Hari itu, Bisma ingin ikut pengajian kitab ke Kiai Abdullah, pengasuh pesantren Al-Usymuni. Ia berjalan cepat sambil membawa kitab di dada. Tapi sesampainya di depan rumah kiai, ia langsung naik ke tangga tanpa melepas sandalnya.
Tiba-tiba, suara lembut datang dari belakang.
“Hei, Bisma… Ngastete, Dek. Sampean belum mokkak sandal,” kata Musyfiq, santri senior yang membimbingnya.
Bisma berhenti dan menatap kakinya.
“Oh, Saporana Kak… saya tidak tahu. Tapi kenapa harus lepas sandal, padahal bersih?”
Musyfiq tersenyum kecil.
“Dek, ini bukan soal bersih atau kotor. Rumah kiai itu tempat ilmu dan barokah. Kalau mau masuk ke tempat suci, lepaskan dulu dunia dari kaki kita.”
Bisma terdiam. Ia pun menunduk, melepas sandalnya perlahan, lalu menaruhnya rapi di depan pintu. Saat melangkah masuk, hatinya terasa lebih tenang.
Di dalam, Kiai Abdullah sedang duduk membaca kitab. Wajahnya teduh, suaranya lembut.
“Ini santri baru, ya?” tanya beliau.
“Nggih, Yai,” jawab Bisma pelan.
Kiai tersenyum.
“Nak, ingat… ilmu tidak akan masuk ke hati yang sombong. Orang yang tidak bisa menunduk, tak akan diangkat derajatnya.”
Kata-kata itu membuat Bisma menunduk lebih dalam. Ia merasa kecil, tapi hatinya penuh cahaya.
Sore harinya, Bisma duduk di serambi bersama Musyfiq. Di depannya, berderet sandal-sandal santri yang tersusun rapi di tepi masjid. Angin sore berhembus pelan.
“Kak,” kata Bisma lirih, “ternyata melepas sandal itu bukan cuma aturan, ya?”
Musyfiq mengangguk. “Benar, Bisma. Setiap kali kita melepas sandal, kita sedang belajar melepaskan kesombongan diri. Karena orang yang rendah hati, itulah yang dekat dengan Allah.”
Adzan ashar berkumandang. Mereka pun berdiri, menuju masjid. Bisma menunduk, kembali melepas sandalnya dengan penuh kesadaran.
Malam itu, suasana pondok hening. Para santri duduk di serambi, kitab kuning terbuka di depan mereka. Suara Kiai Abdullah terdengar lembut mengisi malam.
“Anak-anakku,” ucap beliau, “bahkan Nabi Musa ‘alaihissalam dulu juga diperintahkan untuk melepas sandalnya di Bukit Thur.”
Para santri menatap penuh takzim.
“Saat beliau melihat nyala api dan mendekatinya, Allah berfirman:
فَلَمَّاۤ اَتٰٮهَا نُوۡدِىَ يٰمُوۡسٰىؕ ١١ اِنِّىۡۤ اَنَا رَبُّكَ فَاخۡلَعۡ نَـعۡلَيۡكَۚ اِنَّكَ بِالۡوَادِ الۡمُقَدَّسِ طُوًىؕ ١٢
‘Wahai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka lepaskanlah kedua sandalmu. Sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwa.’
(QS. Ṭāhā: 11–12)”
Kiai berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lembut:
“Melepas sandal itu tanda adab, tanda menyucikan diri. Allah ingin Nabi Musa datang dengan hati bersih, tanpa beban dunia. Begitu pula kita, setiap kali melepas sandal di depan rumah guru, kita sedang membersihkan hati untuk menerima ilmu.”
Bisma menunduk. Matanya terasa hangat. Ia paham sekarang bahwa mokkak sandal bukan hal sepele, tapi jalan kecil menuju keberkahan besar.
Pagi berikutnya, Bisma kembali ngaji ke rumah kiai. Ia berhenti di depan pintu, menunduk, lalu melepas sandalnya perlahan. Ia menatanya rapi, lalu masuk dengan langkah ringan.
Tak ada yang menyuruh, tak ada yang memperhatikan, hanya antara dirinya dan adabnya.
Dan di sanalah Bisma merasa damai. Karena ia tahu, setiap kali kakinya tanpa sandal, hatinya sedang menapak menuju kesucian.
”Sejak Nabi Musa diperintah melepas sandalnya di lembah Thuwa, sampai santri di Madura melepas sandal di depan rumah kiai, semuanya mengajarkan hal yang sama: bahwa ilmu hanya masuk ke hati yang bersih, dan adab adalah pintu menuju cahaya.”
_Writing by Rumzil Azizah_
 
 
.png) 
.png) 
.png) 
.png) 
.png) 
 





 
 
 
 
 
 
