Kamis, 06 November 2025

Pantun Kreatif 1

Pantun Kreatif 1

Sumber : inilah.com


# Anak ayam makan ubi
   Ubi tiga tinggal sebiji
   Siapa rajin mengaji
   Kelak jadi anak terpuji

# Sore hari berhembus topan
   Pohon tumbang menjadi delapan
   Anak baik anak yang sopan
   Kelak bahagia di masa depan

# Anak nelayan menjala ikan
   Perahu kecil di tengah lautan
   Jangan suka bermalas malasan
   Rajin bekerja kunci kesuksesan

# Baju dicuci harus dibilas
   Saat di jemur di injak unggas
   Jadi murid tidak boleh malas
   Harus mengerjakan semua tugas

# Ke laut menangkap ikan
   Pulangnya mampir ke tempat makan
   Dari pada kita membuat kesalahan
   Lebih baik saling memaafkan

# Buah pisang dipinggir sumur
   Anak biawak ular berbisa
   Duduk menangis di pinggir kubur
   Teringat badan banyak berdosa

# Ke rumah sakit pergi berobat
   Pulangnya berpapasan dengan bu lika
   Segeralah kamu bertobat
   Agar mati tidak mendapat siksa

# Buah semangka warnanya pekat
   Makanlah dengan gembira
   Jagalah lidah dari perkara jahat
   Agar hidup bahagia sejahtera

# Jalan jalan ke kota blitar
   Jangan lupa membeli sukun
   Jika kamu ingin pintar
   Belajarlah dengan tekun

# Makan di rumah nasinya basi
   Nasinya nasi padang
   Jangan kamu haus validasi
   Kalau ingin dipandang orang
  

Kumpulan pantun ditulis oleh siswa kelas XII-C

Rabu, 05 November 2025

Pendidikan Merdeka: Antara Cita-cita dan Realitas Transformasi

Pendidikan Merdeka: Antara Cita-cita dan Realitas Transformasi

Sumber : ideapers.com


Berbicara masalah pendidikan sama halnya berbicara masalah nasib suatu bangsa. Belum lekang dari tulisan sejarah bagaimana guru menjadi prioritas oleh Kaisar Hirohito pasca bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito menghimpun seluruh guru dan menegaskan bahwa gurulah yang akan menjadi tumpuan untuk membangun negerinya yang porak-poranda. 

Sementara itu di belahan dunia lain, di Brasil, kita dapat menguliti pelan-pelan sejarah perjuangan Paulo Freire memberantas buta aksara. Ia melakukan praktik belajar-mengajar orang-orang miskin yang buta huruf. Praktik belajar-mengajar ini kemudian dikenal dengan pendidikan yang membebaskan. Apa yang ia harapkan adalah orang-orang miskin segera terbebas dari kemiskinan melalui dunia pendidikan. 

Di dalam negeri sendiri, biografi tokoh semacam itu tak kalah inspiratifnya untuk digugu dan ditiru. Sebut saja Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional telah memberikan payung teduh agar pewaris bangsa ini terus maju melalui pendidikan. Dari tokoh perempuan, Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus untuk perempuan bernama “Sakola Kaoetamaan Istri”. Dalam sekolah itu, para perempuan diberikan pelajaran tentang membaca, menulis, menjahit, dan keterampilan lagi yang berguna bagi perempuan. 

Cerita lainnya yang senada dengan biografi tokoh di atas  datang dari pemuda bernama Furdan dari ujung timur negara ini. Furdan Kinder adalah putra daerah asli Distrik Tomu, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat yang mendedikasikan dirinya untuk menyalakan api lilin harapan anak-anak di pedalaman Papua. Di zaman yang sudah berkemajuan dan sebrang digital ini, Furdan harus bergelut minimnya literasi, akses pendidikan yang kurang memadai dan fasilitas yang serba kekurangan. 

Cerita terakhir ini kemudian menarik akar persoalan pendidikan bangsa ini. Sepenggal kisah Furdan menjadi kaca benggala buram belum meratanya kemajuan pendidikan Indonesia. Pertanyaan yang kemudian muncul, benarkah kita sudah merdeka? Realitas ini menjadi paradoks dengan cita-cita generasi emas 2045. Bagaimana kita bisa menerapkan pembelajaran mendalam sementara persoalan mendasar dan mendalam saja belum bisa teratasi. Kita bisa saja merinci apa saja persoalan yang membelenggu kemerdekaan pendidikan bangsa ini satu per satu antara cita-cita dan realitas yang ada. 

Cita-cita Pendidikan Indonesia

Menilik kembali apa yang dilakukan oleh Kaisar Hirohito saat mengumpulkan jumlah guru yang tersisa pasca bom atom, kita dapat menakar bahwa Kaisar Hirohito ingin membangun sebuah peradaban. Kaisar Hirohito tidak memilih meliter untuk kemudian membalas serangan musuh, sebab Kaisar Hirohito sadar bahwa sesungguhnya guru adalah agen perubahan untuk kemajuan suatu bangsa. Melihat ini, secara sadar bahwa pendidikan menjadi poros utama dalam membangun ulang sebuah negara untuk lebih maju. 

Usaha untuk mencapai kemajuan seperti itu juga disadari oleh pelopor pendidikan negara kita tercinta ini. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional mendefinisikan secara jelas dan terperinci bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari definisi tersebut kita dapat menggarisbawahi cita-cita mulia dari sistem pendidikan negara ini yakni pengembangan potensi diri. Harapan dari cita-cita pengembangan potensi diri tersebut adalah kematangan dalam berpikir dan bertindak serta kecakapan dalam bidang yang ditekuni. Puncaknya adalah seturut dengan cita-cita bangsa ini yang termaktub dalam undang-undang 1945 yaitu turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, tujuan finalnya adalah kemerdekaan sejati untuk diri sendiri, masyarakat dan negara. 

Realitas Pendidikan Indonesia

Sayangnya cita-cita itu harus terbelenggu oleh realitas yang ada. Sekelumit persoalan seperti akses pendidikan yang tidak merata, sarana prasarana tidak memadai dan kurikulum yang membingungkan masih menjadi noktah persoalan. Padahal, saat ini kita tidak lagi di zaman Paulo Freire, Ki Hajar Dewantara atau Dewi Sartika. Kita hidup di zaman generasi Z yang notabene serba berkemajuan seturut dengan perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat. 

Penulis tidak menampik bahwa apa yang dilakukan oleh Furdan Kinder adalah tindakan mulia dari seorang pemuda yang tergerak hatinya menghidupkan cahaya lilin harapan generasi emas bangsa Ini. Tindakannya sama dengan apa yang dilakukan oleh Paulo Freire yang menghidupkan cahaya harapan orang-orang miskin di deaerahnya. Namun yang membedakan adalah apa yang dilakukan Freire telah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu. Sementara Furdan melakukannya di zaman pasca Indonesia merdeka puluhan tahun lalu. Satu sisi kita bangga pada seorang pemuda, satu sisi lainnya kita mengelus dada bahwa hak-hak mendapatkan pendidikan yang layak belum sepenuhnya dinikmati oleh generasi saat ini. Inilah yang oleh Tan Malaka disebut kemerdekaan semu bukan kemerdekaan sejati. 
Apa yang bisa dilakukan? 

Kita tidak perlu mencari kemana jawaban itu. Jawaban itu ada dalam diri sendiri, ada pada setiap masyarakat dan lebih khusus ada pada pemangku jabatan. Secara individu manusia adalah makhluk terpelajar. Kesadaran diri harus melekat pada setiap individu bahwa manusia adalah makhluk yang terpelajar, makhluk yang terus berkembang sesuai zaman. Jika tidak, maka stagnasi akan menjadi pagar utama untuk kemajuan. Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja. Kata Buya Hamka menyentil orang-orang yang tidak ingin perubahan. 

Kesadaran individu akan memberikan dampak positif terhadap kesadaran masyarakat dan sebaliknya pula kesadaran masyarakat juga akan berpengaruh terhadap individu untuk terus belajar. Freire dan Furdan telah mempraktikkan hal tersebut. Mereka memberikan dampak positif untuk anak-anak dan lingkungan sekitarnya, membuka cakrawala pendidikan untuk setiap orang yang berhak. 

Kesadaran individu dan masyarakat harus didukung oleh kesadaran pemangku kebijakan dan pelaksana kebijakan. Pemangku kebijakan, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah memiliki kesadaran penuh bahwa setiap individu yang bernapas di negeri ini memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional dan memperhatikan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan seperti sumber daya manusia, sarana prasarana, partisipasi masyarakat, dan anggaran. 

Jika sudah demikian, bukan tidak mungkin transformasi pendidikan yang memerdekakan atau kemerdekaan pendidikan akan tercapai. Kita tidak akan menemukan kembali ketimpangan pendidikan antara kota dan desa atau  antara ibukota dan daerah. Kita juga tidak akan menemukan disparitas pendidikan antara yang kaya dan miskin. Namun sebaliknya, kita akan melihat kemerdekaan sejati sebagai buah ranum pendidikan. Bukan cahaya lilin lagi tapi cahaya generasi emas yang akan menerangi jalan hidup bangsa ini ke depan. 

Senin, 03 November 2025

SISWA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM IKUTI TES KEMAMPUAN AKADEMIK (TKA)

SISWA SMAS PLUS MIFTAHUL ULUM IKUTI TES KEMAMPUAN AKADEMIK (TKA)


Sumenep, 3 November 2025 – SMAS Plus Miftahul Ulum melaksanakan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada Senin–Selasa, 3–4 November 2025. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh peserta didik kelas XII dengan penuh semangat. Tes dilaksanakan di laboratorium komputer sekolah secara digital.

TKA ini bertujuan untuk mengukur kemampuan akademik siswa secara komprehensif, meliputi aspek pengetahuan, logika berpikir, serta pemahaman konseptual terhadap berbagai mata pelajaran.

Kepala sekolah Ibu Rumzil Azizah, M.Pd. menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian penting dalam proses pembinaan mutu akademik di sekolah.

“Tes ini bukan sekadar ujian, tetapi juga sarana untuk melihat sejauh mana kesiapan siswa dalam menghadapi tantangan belajar. Kami berharap para siswa mengerjakan dengan sungguh-sungguh, menunjukkan kemampuan terbaiknya, dan menjadikan hasilnya sebagai bahan refleksi untuk terus berkembang,” ujar beliau.

Sementara itu, salah satu siswa putra, Moh. Noval Rabbani, siswa kelas XII-A, mengungkapkan rasa antusiasnya mengikuti TKA.

“Awalnya saya agak gugup karena ini tes berbasis komputer, tapi lama-lama jadi seru. Soalnya menantang dan membuat saya ingin lebih banyak belajar lagi,” tutur Noval dengan semangat.

Hal senada juga disampaikan oleh Rodiyatan Mardiah, siswi kelas XII-D yang akrab disapa Dea.

“Saya senang bisa ikut TKA karena bisa tahu kemampuan diri sendiri. Tesnya membuat saya lebih termotivasi untuk belajar lebih giat lagi supaya hasilnya maksimal,” ujarnya.

Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan seluruh siswa SMAS Plus Miftahul Ulum semakin siap menghadapi tantangan akademik di masa mendatang dan terus menumbuhkan semangat belajar sesuai dengan semboyan sekolah untuk ujian kali ini: “Tunjukkan kemampuan terbaikmu. Sukses menanti di setiap usaha yang tulus.”

Kamis, 30 Oktober 2025

MOKKA' SANDAL

MOKKA' SANDAL

Ilustrasi perjalanan tanpa alasan kaki


Pagi itu, udara di pondok masih dingin. Suara ayam berkokok bersahutan, santri mulai menyapu halaman dan menimba air. Di antara mereka ada seorang santri baru bernama Bisma. Ia datang dari Batang-batang, membawa semangat besar untuk menuntut ilmu.

Hari itu, Bisma ingin ikut pengajian kitab ke Kiai Abdullah, pengasuh pesantren Al-Usymuni. Ia berjalan cepat sambil membawa kitab di dada. Tapi sesampainya di depan rumah kiai, ia langsung naik ke tangga tanpa melepas sandalnya.

Tiba-tiba, suara lembut datang dari belakang.

“Hei, Bisma… Ngastete, Dek. Sampean belum mokkak sandal,” kata Musyfiq, santri senior yang membimbingnya.

Bisma berhenti dan menatap kakinya.

“Oh, Saporana Kak… saya tidak tahu. Tapi kenapa harus lepas sandal, padahal bersih?”

Musyfiq tersenyum kecil.

“Dek, ini bukan soal bersih atau kotor. Rumah kiai itu tempat ilmu dan barokah. Kalau mau masuk ke tempat suci, lepaskan dulu dunia dari kaki kita.”

Bisma terdiam. Ia pun menunduk, melepas sandalnya perlahan, lalu menaruhnya rapi di depan pintu. Saat melangkah masuk, hatinya terasa lebih tenang.

Di dalam, Kiai Abdullah sedang duduk membaca kitab. Wajahnya teduh, suaranya lembut.

“Ini santri baru, ya?” tanya beliau.

“Nggih, Yai,” jawab Bisma pelan.

Kiai tersenyum.

“Nak, ingat… ilmu tidak akan masuk ke hati yang sombong. Orang yang tidak bisa menunduk, tak akan diangkat derajatnya.”

Kata-kata itu membuat Bisma menunduk lebih dalam. Ia merasa kecil, tapi hatinya penuh cahaya.

Sore harinya, Bisma duduk di serambi bersama Musyfiq. Di depannya, berderet sandal-sandal santri yang tersusun rapi di tepi masjid. Angin sore berhembus pelan.

“Kak,” kata Bisma lirih, “ternyata melepas sandal itu bukan cuma aturan, ya?”

Musyfiq mengangguk. “Benar, Bisma. Setiap kali kita melepas sandal, kita sedang belajar melepaskan kesombongan diri. Karena orang yang rendah hati, itulah yang dekat dengan Allah.”

Adzan ashar berkumandang. Mereka pun berdiri, menuju masjid. Bisma menunduk, kembali melepas sandalnya dengan penuh kesadaran.

Malam itu, suasana pondok hening. Para santri duduk di serambi, kitab kuning terbuka di depan mereka. Suara Kiai Abdullah terdengar lembut mengisi malam.

“Anak-anakku,” ucap beliau, “bahkan Nabi Musa ‘alaihissalam dulu juga diperintahkan untuk melepas sandalnya di Bukit Thur.”

Para santri menatap penuh takzim.

“Saat beliau melihat nyala api dan mendekatinya, Allah berfirman:

فَلَمَّاۤ اَتٰٮهَا نُوۡدِىَ يٰمُوۡسٰىؕ‏ ١١ اِنِّىۡۤ اَنَا رَبُّكَ فَاخۡلَعۡ نَـعۡلَيۡكَ​ۚ اِنَّكَ بِالۡوَادِ الۡمُقَدَّسِ طُوًىؕ‏ ١٢

‘Wahai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Maka lepaskanlah kedua sandalmu. Sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwa.’

(QS. Ṭāhā: 11–12)”

Kiai berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lembut:

“Melepas sandal itu tanda adab, tanda menyucikan diri. Allah ingin Nabi Musa datang dengan hati bersih, tanpa beban dunia. Begitu pula kita, setiap kali melepas sandal di depan rumah guru, kita sedang membersihkan hati untuk menerima ilmu.”

Bisma menunduk. Matanya terasa hangat. Ia paham sekarang bahwa mokkak sandal bukan hal sepele, tapi jalan kecil menuju keberkahan besar.

Pagi berikutnya, Bisma kembali ngaji ke rumah kiai. Ia berhenti di depan pintu, menunduk, lalu melepas sandalnya perlahan. Ia menatanya rapi, lalu masuk dengan langkah ringan.

Tak ada yang menyuruh, tak ada yang memperhatikan, hanya antara dirinya dan adabnya.

Dan di sanalah Bisma merasa damai. Karena ia tahu, setiap kali kakinya tanpa sandal, hatinya sedang menapak menuju kesucian.

”Sejak Nabi Musa diperintah melepas sandalnya di lembah Thuwa, sampai santri di Madura melepas sandal di depan rumah kiai, semuanya mengajarkan hal yang sama: bahwa ilmu hanya masuk ke hati yang bersih, dan adab adalah pintu menuju cahaya.”


_Writing by Rumzil Azizah_

Rabu, 29 Oktober 2025

Etnomatematika Permainan Tradisional, Media Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa

Etnomatematika Permainan Tradisional, Media Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa

Ilustrasi permainan tradisional

Mempelajari matematika sama halnya mempelajari esensi kehidupan itu sendiri. Matematika mengajak para siswa yang mempelajarinya untuk menyelami kehidupan dengan cara berpikir kritis dan logis. Dengan kemampuan tersebut, siswa diharapkan dapat memahami problematika kehidupan sehingga mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Secara rasional matematika dipelajari bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga berperan sebagai alat untuk membangun pemahaman, melatih cara berpikir, dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, 2025).

Sayangnya esensi dari pelajaran matematika belum sampai pada tahap apa yang telah disebutkan di atas. Matematika dipahami sebatas pada angka-angka dan simbol-simbol dalam bentuk rumus yang harus dijawab saja bukan menyelesaikan persoalan. Pantas saja jika ditanya kepada siswa tentang pelajaran apa yang sulit? Siswa aka akan menjawab pelajaran matematika, bukan bahasa atau sejarah. Pemahaman yang sempit ini kemudian mengamini salah satu alasan mengapa skor Matematika PISA Indonesia tahun 2022 berada di urutan buncit dan kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Brunai Darussalam. 

Belajar matematika bukan sekadar angka, rumus dan simbol akan tetapi juga diharapkan mampu mengimplementasikan pengetahuan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu Sáenz (dalam Fatimah dkk., 2020) menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis pengetahuan dalam matematika, yaitu pengetahuan kontekstual, konseptual, dan prosedural. Pengetahuan konseptual dan kontekstual berhubungan dengan masalah kehidupan sehari-hari di dunia nyata dan situasi sekolah. Pengetahuan konseptual dan kontekstual inilah yang jarang ditemukan dalam pembelajaran matematika.

Rasanya telah banyak siswa yang mengalami mathematics anxiety atau kecemasan terhadap matematika. Kesulitan memahami materi pelajaran matematika dan penyampaian materi yang kurang menarik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan siswa mengalami kecemasan matematika. Hasil penelitian yang dilakukan (Pujiadi, 2021) menjadi bukti nyata bahwa sebagian siswa mengalami tingkat kecemasan saat mengikuti pelajaran Matematika. Data penelitian yang ditemukannya menyebutkan bahwa tingkat kecemasan matematika siswa di Jawa Tengah paling banyak pada katagori kecemasan rendah yaitu sebanyak 1191 orang (53,17%). Hanya 62 orang (2,77%) yang mengalami kecemasan tinggi, dan 711 orang (31,74%) yang berkatagori kecemasan sedang, bahkan yang tidak mengalami kecemasan matematika lebih dari 10%, yaitu sebanyak 276 (12,32). 

Berdasar data di atas, mengajak siswa menyelami pelajaran matematika tidak cukup dengan hanya menuliskan angka dan rumus-rumus di papan tulis lalu kemudian menyuruhnya untuk menghafal. Strategi membuat pelajaran matematika menyenangkan menjadi pilihan wajib yang harus dilakukan oleh guru untuk menghapus stigma sukar, membosankan dan menakutkan tentang pelajaran matematikan. Etnomatematika dapat menjadi alternatif yang membantu siswa memperolah pemahaman mendalam tentang pelajaran matematika. 

Etnomatematika merupakan strategi pembelajaran dengan mengaitkan unsur budaya dalam pelajaran matematika (Fauzi & Lu’luilmaknun, 2019). Mengawinkan pelajaran matematika dengan unsur budaya bukanlah hal yang sulit dilakukan. Pasalnya, Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Kekayaan itu salah satunya terwujud dalam bentuk permainan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dan sering dimainkan oleh anak-anak. Permainan tradisional memiliki nilai sendiri yang mampu membuat pemainnya merasa bahagia. Kebahagiaan ini yang menjadi modal dasar dalam menjadikan permainan tradisional sebagai media pembelajaran kontekstual untuk mata pelajaran matematika. 

Permainan tradisional yang dapat dijadikan media pembelajaran matematika di antaranya adalah engklek, kelereng, pasasran, dakon, bentengan dan lainnya. Secara umum permainan tradisional telah mengakomodir beragam nilai seperti nilai kognitif, afektif dan psikomotorik. Nilai kognitif berkaitan dengan nila-nilai pengetahuan yang dapat diperoleh saat bermain permainan tradisional. Misalnya saja dalam permainan engklek, anak-anak akan mengetahui luas bidang datar seperti persegi, persegi panjang, segitiga, dan setengah lingkaran. Berkaitan dengan nilai afektif, permainan tradisional engklek mengajarkan sikap disiplin, tanggung jawab dan sportifitas. Sementara itu dari segi nilai psikomotorik, engklek membantu perkembangan motorik kasar anak. 

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Fauzi & Lu’luilmaknun, 2019) telah membuktikan bahwa selain membentuk karakter siswa, permainan engklek memiliki unsur-unsur matematika. Unsur-unsur matematika dari hasil eksplorasi pada permainan engklek tersebut ditemukan unsur geometri bidang, hubungan antar sudut, jaring-jaring, kekongruenan, refleksi, logika matematika, dan konsep probabilitas atau peluang. Bukti nyata juga ditujukan oleh (Amreta dkk., 2025) yang mengungkapkan bahwasannya hasil pembelajaran matematika yang dlakukan secara kontekstual dengan memanfaat media permainan tradisional engklek menunjukkan jika metode ini mampu meningkatkan keaktifa siswa, memperkuat pemahaman konsep matematika dasar seperti pengurangan dan penjumlahan, serta menciptakan suasana belajar yang lebih kreatif dinamis, kolaboratif, dan menyenangkan. Selain itu, kegiatan ini juga turut mendukung pelestarian budaya lokal melalui integrasi permainan tradisional dalam pembelajaran.

Permainan tradisional lainnya yang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran berbasis kontekstual pada mata pelajaran matematika adalah permainan kelereng. Permainan yang sering dimainkan anak-anak pada sore hari ini dapat membantu anak belajar geometri bangun datar dan ruang, pengukuran, serta operasi perhitungan (Putri A dkk., 2025). Operasi perhitungan terlihat dalam penjumlahan dan pengurangan saat kelereng di atas bidang datar seperti persegi, lingkaran atau segitiga. Konsep bangun ruang terwakili oleh bentuk fisik kelereng yang menyerupai bola, sedangkan bangun datar tampak pada bentuk-bentuk gambar arena permainan seperti lingkaran, segitiga, atau persegi di atas tanah.

Contoh terakhir yang dapat disajikan dalam tulisan ini adalah permainan pasaran atau jual-jualan yang kerap kali dimainkan oleh anak-anak perempuan khusus di hari libur sekolah. Permainan pasaran mempraktikkan hubungan sosial antara penjual dan pembeli yang diperankan oleh anak-anak. Selain itu, anak-anak belajar menghitung kebutuhan pokok yang diperlukan. Anak-anak juga belajar jumlah yang harus dibayarkan dan kembalian yang diterima. Sejalan dengan hal tersebut, Ulya menyebutkan bahwa dalam permainan pasaran, peserta didik memperagakan proses jual beli seperti pada kondisi pasar yang sebenarnya. Dengan pengalaman langsung seperti itu, peserta didik akan lebih memahami konsep aritmetika sosial (Ulya, 2017). 

Integrasi nilai-nilai budaya lokal seperti permainan tradisional ke dalam pelajaran matematika menjadi pelita pada sebagian pandangan gelap pelajaran matematika yang dianggap menakutkan. Ilmu yang dikenal dengan sebutan etnomatematika ini membuka jalan kesenangan dalam belajar matematika. Sementara itu permainan tradisional yang dijadikan media sejatinya mengandung tiga nilai penting dalam proses belajar siswa seperti nilai kognitif, afektif dan psikomotorik. Integrasi keduanya bisa dilihat dari hasil penelitian yang telah diungkapkan di atas, anak-anak yang bermain permainan tradisional seperti engklek, kelereng, dan pasaran secara tidak langsung dapat memahami bidang datar, volume, geometri dan penghitungan. Selain itu yang tidak kalah penting adalah dengan memanfaatkan permainan tradisional, guru dan siswa yang terlibat telah melakukan pelestarian permainan tradisional yang dewasa ini mulai luntur.

Ditulis oleh : TIM Literasi (artikel ini juga tayang di https://sapanesia.id/?p=13866) 

Selasa, 28 Oktober 2025

Mahkota Untuk Ayah

Mahkota Untuk Ayah

 

Ilustrasi (sumber : hadila.co.id)

“Dor-dor-dor-dor.” Suara jendela yang dipukul dengan kayu telah terdengar, itu tandanya anak-anak harus segera bangun untuk melaksanakan sholat tahajud. “Ayo anak-anak, bangun! Waktunya qiyamul lail!” ucap seorang pengurus pondok. Fatimah pun segera bangun dan membangunkan teman-temannya.

“Teman-teman ayo bangun, waktunya untuk melaksanakan qiyamul lail!”

“Iya-iya, terima kasih sudah membangunkan kami Fatimah,” ucap Fitri.

“Iya, sama-sama,” jawab Fatimah.

Mereka pun segera berwudhu dan langsung menunaikan sholat tahajud. Setelah itu mereka membaca Al-Qur’an sambil menunggu adzan subuh.

“Allahuakbar, Allahuakbar.” Adzan subuh pun mulai terdengar.

Setelah adzan, mereka pun segera melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah sholat subuh, mereka langsung menuju ruang khusus anak tahfidz. Di sana para santri wati tahfidz menyetor hafalan mereka kepada ustadzah Aisyah.

Tiba-tiba, “Huaay, capek banget ya jadi santri, apalagi ikut tahfidz. Tiap malam menghafal, sepertiga malam qiyamul lail, habis itu sholat subuh, terus habis sholat masih setor hafalan,” ucap salah seorang anak yang bernama Rani.

Ustadzah Aisyah mendengar ucapan Rani dan berkata, “Rani, kita semua ini harus bersabar, jangan pernah mengeluh dan teruslah berusaha. Insyaa Allah nanti akan dapat balasan kebaikan dari Allah. Kan Rani ikut tahfidz atas kemauan Rani sendiri.”

“Nggak sih Ustadzah, Rani ikut tahfidz karena perintah dari Ayah dan Bunda. Sebenarnya Rani enggak pengen ikut tahfidz,” jawab Rani.

Mendengar jawaban Rani, Ustadzah Aisyah pun menghampiri Rani dan mengelus kepalanya.

“Rani, itu berarti kedua orang tua Rani sayang sama Rani.”

Rani yang mendengar ucapan ustadzah Aisyah pun menunduk.

---

Di pagi harinya mereka mulai beraktivitas untuk membersihkan kamar mereka kemudian menyapu halaman.

“Gak kerasa ya, besok udah kiriman,” ucap Fitri.

“Iya, aku gak sabar pengen ketemu umi dan abi,” jawab Fatimah.

Keesokan harinya mereka kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Mereka akan dikirim oleh keluarga mereka pada jam 08.00 pagi. 

Pada pukul 08.00 orang tua anak-anak sudah datang untuk mengunjungi mereka. Tetapi ayah dan bunda Rani masih belum datang. Rani pun sedih dan berkata,

“Ayah dan bunda kok masih belum datang yah?” katanya dengan nada lemas.

“Tenang aja, mungkin mereka masih beli oleh-oleh buat kamu,” ucap Fitri.

Tak lama kemudian, “Rani, ayah bunda kamu nungguin kamu di pengiriman,” ucap Fitri.

Rani menjawab, “Oh iya, makasih ya, udah kabarin aku.”

---

Sesampainya di pengiriman, Rani langsung menghampiri ayah dan bundanya dengan muka cemberut.

“Assalamu’alaikum,” ucap Rani.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ayah dan bunda Rani sambil tersenyum.

“Anak ayah kok cemberut?” tanya ayah Rani.

“Ayah sama bunda lama banget, harusnya kan datang jam 08.00, ini malah udah jam 10.00,” kata Rani dengan nada sedikit kesal.

“Maaf ya, ayah sama bunda ya, tadi ayah sama bunda masih ke rumah sakit,”

“Hah? Ngapain ayah sama bunda ke rumah sakit?” tanya Rani.

“Tadi ayah sama bunda cek kesehatan,” jawab ayah Rani.

Kemudian ayah Rani langsung mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Ayah Rani: “Gimana nak, lancar hafalannya?”

Rani: “Rani pengen berhenti ikut tahfidz, Rani capek.”

Ayah Rani: “Rani, kamu tahu gak, Rani harus tetap semangat dalam menghafal Al-Qur’an, emangnya Rani gak mau masuk surga sama ayah dan bunda?”

Rani: “Mau banget ayah, emang apa aja sih ya keuntungannya menghafal Al-Qur’an?”

Ayah Rani: “Rani, Al-Qur’an itu adalah pedoman kita kelak di hari kiamat. Selain itu, jika kita menghafal Al-Qur’an maka nanti kedua orang tuanya akan diberikan mahkota dan juga bisa membawa 10 keluarganya ke surga.”

---

Tak lama kemudian, di saat ayah dan bunda Rani akan pulang, ayah Rani mencium kening Rani sambil berkata,

“Rani harus kuat ya nak, Rani nggak boleh nyerah. Ayah sama bunda sayang banget sama Rani, kalo bukan Rani siapa lagi yang bisa banggain bunda sama ayah dan bisa bawa ayah sama bunda ke syurga. Nanti kalo liburan ayah sama bunda mau bawa Rani jalan-jalan ke luar kota ya." Setelah mengucapkan kata-kata itu ayah dan bunda Rani melepaskan tangannya.

---

Tiga hari kemudian, tante dan paman Rani menjemput Rani ke pondok, Rani bertanya "Tante sama paman kok jemput Rani? Emangnya ada apa?" Tante dan paman Rani tidak menjawab, kemudian tante Rani memeluk Rani dan menangis. Rani pun keheranan.​

Sesampainya di rumah Rani, terlihat banyak sekali orang. Rani pun berlari ke dalam rumahnya. Sesampainya di dalam betapa terkejutnya Rani melihat ayahnya berbaring tak bernyawa dan sudah ditutupi kain. Rani berteriak sambil menangis "Ayah, Ayah.. Bangun Ayah! Ayah kenapa ninggalin Bunda sama Rani? Katanya Ayah sayang sama Rani, katanya Ayah masih mau bawa Rani jalan-jalan? Katanya Ayah pengen lihat Rani khatam menghafal 30 Juz Al-Quran Bunda, Ayah kenapa? Ayah kenapa Bunda?"

Bunda Rani memeluk Rani sambil menangis "Ayah kamu terkena serangan jantung Nak, tadi setelah sholat subuh ayah kamu langsung jatuh dan pingsan. Bunda langsung bawa kerumah sakit tapi nyawa ayah kamu sudah tidak bisa diselamatkan." Jawab bunda Rani sambil menangis.

​"Kita harus sabar ya nak, kita memang sangat sayang sama ayah, tapi Allah jauh lebih sayang," ucapnya lagi.

​"Selamat jalan ayahku sayang, suatu hari nanti bunda sama Rani bakal nyusul ayah, Rani janji bakal ngasi hadiah berupa mahkota itu kepada ayah dan bunda kelak," ucap Rani sambil memeluk ayah nya yang sudah meninggal.

​Selang beberapa hari, Rani kembali lagi ke pondok, di sana dia tampak rajin dan giat menghapal Al-Qur'an dari biasanya. Rani selalu mengingat kata-kata ayahnya, "Kalau bukan Rani, siapa lagi yang bisa banggain ayah dan bunda kelak bisa bawa ayah dan bunda ke syurga."


Ditulis oleh : Dinda Mutiara Rofika (Kelas X-C)